(gambar: sunset di salah satu dermaga karimun--potho by Dwi Julianto Orang Indonesia) |
Karimunjawa, mungkin saat ini namanya telah dikenal oleh banyak orang, dan itu tergambar dari mulai berkembangnya daerah ini menjadi salah satu tujuan wisata dengan konsep wisata bahari di indonesia, khususnya bagi masyarakat di P.Jawa. Bisa dibilang saya juga baru beberapa tahun ini mengenal Karimunjawa secara langsung, walau belum semua pulau di sana pernah saya singgahi, namun pengalaman (obrolan dan sampling lapangan) yang saya dapat sejak pertama kali datang ke tempat ini memberikan sedikit rasa ironi dan trauma jika membayangkan tempat ini akan menjadi seperti apa pada beberapa tahun ke depan. Ironi dan Trauma ini ber-iringan dengan banyak juga program pengelolaan yang dilakukan pemerintah dan pihak swasta, serta riset dan penelitian beberapa universitas di jawa tengah dan jogja. Ibarat Karimunjawa bagai sebuah emas yang terpendam, kilaunya telah menarik berbagi kalangan datang ke tempat ini untuk mengeruknya agar bisa dinikmati dengan berbagai macam dalil kepentingan. Namun bagi saya muncul pertanyaan, apakah masyarakat dan alam Karimun juga akan mendapat hak dari kepentingan-kepentingan diatas atau akan menjadi seperti rakyat Papua yang emasnya dikeruk habis oleh orang luar??
Denyut wisata di karimun sedang tumbuh pesat, hal ini tergambar dari bertambahnya jam pelayaran kapal yang awalnya dari 2 kali seminggu menjadi 3 kali seminggu. Artinya jumlah pengunjung yang berniat datang ke karimun semakin meningkat. Sentilan kecil yang saya tangkap dari obrolan dengan salah seorang bapak (red: sudah bertahun2 menjadi warga karimun) menyatakan bahwa sering sekali porsi muatan kapal angkutan umum yang digunakan terlalu dipaksakan untuk menampung pengunjung yang terlalu banyak. Dan Mayoritas pengunjung yang datang adalah yang berniat untuk berwisata.
(gambaran sudah banyak pengunjung yang datang ke karimun hingga kapalnya ga muat) |
Konsep wisata bahari merupakan salah satu emas yang memang terpendam dan menjadi tonggak utama eksploitasi alam karimun. Pantai, Laut, Karang dan hewan yang berasosiasi dengannya, serta Hutan dan hewan2 di dalamnya, menjadi objek dalam sebuah panggung hiburan bagi pengunjung. Objek ini dikelola oleh berbagai pihak dengan masing-masing kepentingan. Wajar bila banyak Biro Perjalanan yang ada disana, saat ini tengah berlomba2 menjadi yang terdepan. Rekan biro yang sering saya temui mengungkapkan kekawatirannya, melihat dari target yang ingin dicapai adalah kuantitas dengan menjual objek alam karimun dengan harga lebih terjangkau, pihak biro melupakankualitas yang ditawarkan.
Kualitas adalah bagaimana pengunjung mendapat sebuah pengalaman menarik dalam perjalanannya. Yang bagi rekan saya (red: rekan biro) dia istilahkan dengan sebutan kualitas "hidden paradise". Kualitas ini sedikit dilupakan oleh para tokoh biro untuk menarik emas karena alasan resiko takut harus menggali terlalu dalam (red: me-min-kan profit yang didapat). Kualitas adalah bagaimana pengunjung juga mendapat pengalaman edukatif tentang alam, bahwa alam dinikmati bukan hanya untuk mendapat tekanan, tapi juga mendapatkan hak aplaus/tepuk tangan dari penikmatnya dalam panggung hiburan yang ia berikan secara gratis (red: alam sudah ada, bukan manusia penciptanya). Dan tepuk tangan yang diharapkan adalah sebuah kesadaran akan pentingnya Proteksi dan Respeksi (red: menghargai) terhadap alam.
Kualitas lain adalah bagaimana desentralisasi perkembangan ekonomi bagi masyarakat karimun. Terpusatnya (red: Sentralisasi) kegiatan wisata yang hanya ada di satu daerah menjadi tidak meratanya kondisi ekonomi. Peluang dan kesempatan berusaha dengan makin meningkatnya kegiatan wisata di karimun ternyata tidak semua dapat dirasakan oleh masyarakat karimun. Obrolan tidak sengaja (red: kebetulan ban motor bocor; ibu tukang tambal ban) yang saya dapat dari warga karimun yang bermukim di sebuah desa kecil, menyatakan bahwa magnet wisata tidak memberikan dampak signifikan bagi ekonomi keluarganya, dan berharap pemerintah juga lebih berperan dalam diversifikasi (red: pengkayaan) hasil yang didapat dari wisata. Kualitas yang mungkin belum pernah terpikirkan atau hanya sempat terpikirkan oleh pihak-pihak pemilik panggung hiburan karimun, untuk menjadi mutiara lain pengelolaan alam dan masyarakat karimun.
Jelas bahwa Ironi dan trauma saya akan menjadi saksi perubahan alam dan masyarakat karimun. Dan entah butuh berapa tahun lagi itu akan menjadi sejarah yang akan ditorehkan dalam panggung hiburan karimun. Namun semoga Kepentingan-kepentingan yang akan datang itu tidak bersifat menekan, merusak, dan merugikan, hanya lebih kepada kepentingan yang bertanggung jawab kepada apa yang telah alam karimun berikan. Simak celoteh lagu ini sebagai gambaran dan simbol kekawatiran saya:
(salah satu sudut capture alam karimun) |
Tak Biru Lagi Lautku (by: Iwan Fals)
Hamparan pasir Tampak putih berbuih
Kala sisa ombak merayap
Hamparan pasir Terasa panas menyengat
Di telapak kaki yang berkeringat
Camar camar hitam Terbang rendah melayang
Di sekitar perahu nelayan
Daun kelapa Elok saat melambai
Mengikuti arah angin
Tampak ombak Kejar mengejar menuju karang
Menampar tubuh pencari ikan
Semilir angin berhembus Bawa dendang unggas laut
Seperti restui jala nelayan
Gurau mereka Oh memang akrab dengan alam
Kudengar dari kejauhan
Dan batu batu karang Tertawa ramah bersahabat
Memaksa aku tuk bernyanyi
Tampak ombak Kejar mengejar menuju karang
Menampar tubuh pencari ikan
Semilir angin berhembus Bawa dendang unggas laut
Seperti restui jala nelayan
Itu dahulu Berapa tahun yang lalu
Cerita orang tuaku
Sangat berbeda Dengan apa yang ada
Tak biru lagi lautku
Tak riuh lagi camarku
Tak rapat lagi jalamu
Tak kokoh lagi karangku
Tak buas lagi ombakmu
Tak elok lagi daun kelapaku
Tak senyum lagi nelayanku
Tak senyum lagi nelayanku
(nb => thx to: Inspiratif session from Bang Astro, Pak Capung, Pak Mul, Pak Sobirin, n Pak Kris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar