Puncak Watu Payon merupakan salah satu puncak di pegunungan muria, tepatnya puncak dari Gunung Termulus, bagian paling timur dari pegunungan muria. Belum banyak pecinta alam yang mendaki ke sana karena mungkin namanya kurang begitu familiar dari pada Puncak Argo Jembangan dan Puncak Sapto Renggo, saya pun mulai sering mendaki ke sana sejak 2 tahun terakhir ini.
(img: signway to the termulus top)
Sama seperti puncak-puncak di pegunungan muria pada umumnya (puncak2 umum yang sering di daki), puncak Watu Payon juga punya "wajah yang sama" yaitu penuh aroma mistis, namun daya mistis dari puncak dengan ketinggian kurang lebih 1500 mdpl ini berbeda dari yang lain, nuansa mistis yang lebih kental karena masih di selimuti tebal bermacam jenis flora alami, mungkin daya tarik itu pula yang membuat saya dan beberapa rekan mulai sering mendaki ke sana, bukan karena mistisnya, tapi karena flora-flora unik yang hidup di sekitar puncaknya. Beberapa dari jenis flora mungkin dapat dengan mudah kita kenali, seperti dari tumbuhan paku, namun yang membuat saya tertarik adalah adanya flora mini yang hidup bebas di sekitar puncak, termasuk di monumen purba, yang oleh penduduk di kenal dengan nama "Watu Payon", mungkin dari nama monumen itu juga asal muasal nama puncak dari gunung ini.
Sejak dari pagi pukul 09.00 WIB saya dan seorang rekan telah tiba di Desa Gunung Sari, sebuah desa di kaki Gunung Termulus. Kami putuskan untuk menunggu rekan kami yang lain yang berangkat belakangan di rumah salah satu penduduk desa. Keramahan warga desa segera tertangkap dari aroma kopi panas yang dihidangkan dengan beberapa cemilan daerah, kamipun menyambutnya dengan antusias, nikmat yang tidak akan pernah bisa kami dapatkan di kota. Ditemani obrolan ringan kami pun tak sadar ternyata kopi segelas sudah habis sebelum sempat dingin karena cuaca di luar pun menjadi gelap mendung pertanda akan ada hujan malam ini. Penduduk desa, terutama tuan rumah yang kami singgahi, sering heran kenapa dengan kondisi cuaca seperti ini, kami tetap melanjutkan niat untuk mendaki puncak watu payon, beliau yang tinggal di kaki gunung saja jarang mendaki kesana, hanya 2 kali seumur hidup, padahal jika saya perkirakan umur beliau hampir 20 th lebih tua dari ayah saya. Salah satu alasan pribadi, adalah karena gunung bagi saya adalah rumah ke kedua, apapun yang terjadi, tetap yang saya rasakan adalah sebuah kenyamanan, kehangatan, dan kenikmatan walau harus kedinganan, kehujanan dan kelelahan. Setelah puas menyapa tuan rumah dan beberapa anggota keluarganya, kami pamit untuk berjalan santai di jalur pendakian sambil menunggu rekan yang lain tiba, yang sebelumnya mengirim pesan bahwa mereka sedang tertahan masalah kendaraan yang mogok. Jalur yang kami lewati merupakan jalur yang sudah sering kami lalui, karena terlalu sering, kami pun iseng2 menamakan beberapa jalur dengan istilah kami sendiri disesuaikan dengan medan yang ada tentunya, seperti “tanjakan cinta”, “tanjakan patah hati”, dan “pintu gerbang puncak”.
Satu jam kemudian rekan2 yang lain pun telah menyusul kami yang sedang beristirahat di tengah perjalanan, salah satu dari mereka baru pertama kali mendaki ke sini, jadi terlihat sudah kelelahan setelah melewati “tanjakan cinta”, tanjakan ini sebenarnya tidak terlalu besar elevasinya, namun karena jaraknya yang panjang, dan harus berjalan di sisi tebing, mungkin akan sedikit banyak menguras energi (tenaga & mental). Untuk pendaki pemula, jalur tanjakan cinta ditempuh dalam waktu sekitar 1 – 1,5 jam perjalanan, dengan start dari desa kemudian menuju hutan pinus dan kebun kopi, namun bagi yang telah punya cukup pengalaman mendaki, mungkin hanya akan menghabiskan waktu setengahnya.
Selain flora khas hutan hujan, beberapa fauna yang hidup dalam hutan heterogen di sepanjang jalur pendakian menuju puncak akan sering kita jumpai, seperti burung2 liar yang berkicau sepanjang jalur hutan pinus hingga ke sungai sebelum tanjakan patah hati dan jika jeli serta didukung dengan sedikit keberuntungan, mungkin kita bisa mendapatkan pemandangan langka yang sangat jarang di temui di pegunungan muria, yaitu monyet liar. Sejauh ini saya hanya pernah bertemu sekali, sebuah pemandangan yang langka dan ironis kalau kita membayangkan bila kelak di pegunungan ini sedianya akan di bangun sebuah PLTN, karena desakan dari pembukaan lahan untuk kebun penduduk saja telah mempersempit habitat mereka. Sayang pada saat itu saya tidak membawa kamera jadi momen tersebut hanya bisa di bagi lewat cerita.
Ditengah perjalanan, diantara lebatnya pepohonan dan kicauan burung, terdapat sebuah sungai yang jaraknya tidak begitu jauh dari jalur pendakian, sungai ini akan mengalir ke sebuah air terjun dengan ketinggian hampir 25 m. Air terjun ini hanya bisa kita nikmati dari kejauhan karena berada di lembah yang curam, namun keindahan alam ini bagi saya sebaiknya kita biarkan apa adanya, eksotisme darinya mungkin hanya dapat kita rasakan dari kejauhan. kelestarianlah yang harusnya kita jaga, bukan keinginan mengeksploitasinya tanpa pertanggung jawaban.
Perjalanan dari sungai menuju puncak memakan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan, melewati sebuah tebing menanjak yang curam dan lumayan panjang jaraknya sehingga bagi pendaki pemula akan banyak menguras energi, namun semua itu akan terobati dengan pemandangan flora-flora alami seperti pohon meranti dan pohon ara yang menjulang rimbun melindungi jalur pendakian dari terobosan cahaya matahari. Beberapa macam tumbuhan paku pakuan berjajar rapi di sebuah punggungan bukit melengkapi lansekap alam sembari menuju sebuah gerbang yang terbentuk secara alami dari pohon tumbang yang dipenuhi dengan anggrek gunung. Dan pada akhir jalur, puncak Watu Payon menyambut kita dengan kerindangan pohon-pohon dan satu buah gubuk tua beratap seng, yang sering di gunakan peziarah gunung dan pendaki untuk menginap.
Nuansa mistis akan segera terasa memancar dari sebuah monumen peninggalan masa lalu yang berdiri tegap di atas sebuah karpet hijau alam, bersama makam di kanan dan belakangnya, kisah sejarah masa lampau terpendam kuat di dasarnya. Tanahnya yang subur menjadikan ruang ekologi di atas puncak ini menumbuhkan berbagai macam flora seperti berbagai macam tumbuhan mungil yang unik termasuk di atas monumen watu payon. Beberapa diantaranya teridentifikasi sebagai lumut (Bryophyta), terdiri dari beberapa species yang tentunya menambah keberagaman dunia lain di atas tanahnya yang selalu basah. Suasana mistis yang berbalut keindahan aneka ragam flora menjadikan puncak watu payon memiliki wajah yang berbeda dari puncak-puncak di muria pada umumnya, tumpukan daun berserakan di sekitar makam terkesan tempat ini jarang di jejaki oleh para pendaki maupun peziarah. Bagi para pendaki, khususnya pendaki muda, keunikan alam di puncak Watu Payon dapat menjadi sebuah misteri yang bukan untuk di pecahkan ataupun di gali tentang sejarah keberadaannya, namun misteri bagaimana mempertahankan eksotisme alam di atas keegoisan kita untuk menjelajah dan meninggalkan jejak-jejak kotor kita. Dengan semakin sempitnya kesadaran kita tentang ekologi lingkungan, kekhawatiran saya akan terwujud, karena pada saatnya kita hanya bisa bercerita tentang keberadaannya dan tidak bisa lagi menikmatinya secara langsung. Namun di atas kekhawatiran itu, puncak Watu Payon telah memberikan saya semangat baru bagi dunia yang penuh dengan kenyataan dan ke-ghaiban, yaitu perasaan untuk menjaga dan mempertahankan hutan mungil yang tersusun dari ribuan tumbuhan bryophyta di dalamnya sebagai dunia lain dari dunia lain yang ikut mengisi kehidupan relung dan bahkan komunitas hayati di atas puncak gunung termulus ini.
nice story...
BalasHapus